Askep maternitas


Klik Link Askepnya Untuk mendownloadnya dijamin gratis / free…..

  1. Askep Abortus
  2. Askep Ca Ovarium
  3. Askep Bartolinitis
  4. Askep Bayi Baru Lahir
  5. Askep Ca Serviks
  6. Askep Ibu Hamildengan Penyakit Jantung Hipertensi
  7. Askep Hiperemisis Gravidarum
  8. Askep Ibu Hamil dengan Hypertiroid
  9. Askep Endometriosis
  10. Askep Hipertensi Kehamilan
  11. Askep Ibu Hamil dgn DM
  12. Askep Myoma Uteri
  13. Askep Perdarahan Ante PartumAskep Post Partum Resiko Tinggi
  14. Askep Kanker Payudara
  15. Askep Infeksi Nifas
  16. Askep Infertilitas
  17. Askep Molahidatidosa
  18. Askep Ibu hamil dgn letak sungsang
  19. Askep Post Partum Resiko Tinggi
  20. Askep Keluarga Berencana
  21. Atonia UteriAskep Toksemia Gravidarum
  22. Askep SC dgn indikasi panggul sempit
  23. Askep Prolaps Uteri
  24. Askep Pre dan Post Matur Kehamilan
  25. Askep Toksemia Gravidarum
  26. LP Plasenta Previda
  27. LP Distosia
  28. LP Kehamilan Ektopik Terganggu

Sirosis Hepatis


Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati (Mansjoer, 2001).

Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya di mulai dengan adanya proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat, dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut. Lebih dari itu, hepar yang rusak tidak dapat melaksanakan fungsi metabolik normalnya seperti metabolisme protein, lemak, dan karbohidrat, sintesis empedu, penyimpangan vitamin dan sintesis faktor pembekuan. Selain Sirosis hepatis dapat mengganggu sirkulasi darah intrahepatik, pada kasus yang sangat lanjut, dapat menyebabkan kegagalan fungsi hati secara bertingkat.  (Noer, 1996 ).

Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronik yang dicirikan oleh distorsi arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodula-nodula regenerasi sel hati yang tidak berkaitan vaskulatur normal (Price, 1994).

Napza


NAPZA

 

Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA

Dalam percakapan sehari-hari, sering digunakan istilah narkotika, narkoba, NAZA maupun NAPZA. Secara umum, kesemua istilah itu mengacu pada pengertian yang kurang-lebih sama yaitu penggunaan zat-zat tertentu yang mempengaruhi sistem saraf dan menyebabkan ketergantungan (adiksi). Namun dari maraknya berbagai zat yang disalahgunakan di Indonesia akhir-akhir ini, penggunaan istilah narkotika saja kurang tepat karena tidak mencakup alkohol, nikotin dan kurang menegaskan sejumlah zat yang banyak dipakai di Indonesia yaitu zat psikotropika. Karena itu, istilah yang dianggap tepat untuk saat ini adalah NAPZA : narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya.

Beberapa jenis NAPZA yang populer digunakan di Indonesia :

  • Putau : tergolong heroin yang sangat membuat ketergantungan, berbentuk bubuk.
  • Ganja : berisi zat kimia delta-9-tetra hidrokanbinol, berbentuk tanaman yang dikeringkan.
  • Shabu-shabu: kristal yang berisi methamphetamine.
  • Ekstasi: methylendioxy methamphetamine dalam bentuk tablet atau kapsul.
  • Pil BK, megadon dan obat-obat depresan sejenis.

Pada awalnya, zat-zat ini digunakan untuk tujuan medis seperti penghilang rasa sakit. Namun apabila zat-zat ini digunakan secara tetap, bukan untuk tujuan medis atau yang digunakan tanpa mengikuti dosis yang seharusnya, serta dapat menimbulkan kerusakan fisik, mental dan sikap hidup masyarakat, maka disebut penyalahgunaan NAPZA (drug abuse).

Salah satu sifat yang menyertai penyalahgunaan NAPZA adalah ketergantungan (addiction). Misalnya heroin yang ditemukan oleh Henrich Dresser tahun 1875, digunakan untuk menggantikan morfin dalam pembiusan karena diduga heroin tidak menimbulkan ketergantungan. Padahal – keduanya berasal dari opium – heroin justru menimbulkan ketergantungan yang sangat kuat. Sejarah juga menunjukkan bahwa banyak tentara Amerika pasca perang Vietnam menjadi ketergantungan heroin karena zat ini sering digunakan sebagai penghilang rasa sakit selama perang berlangsung.

Ciri-ciri ketergantungan NAPZA:

  • Keinginan yang tak tertahankan untuk mengkonsumsi salah satu atau lebih zat yang tergolong NAPZA.
  • Kecenderungan untuk menambah dosis sejalan dengan batas toleransi tubuh yang meningkat.
  • Ketergantungan psikis, yaitu apabila penggunaan NAPZA dihentikan akan menimbulkan kecemasan, depresi dan gejala psikis lain.
  • Ketergantungan fisik, yaitu apabila pemakaian dihentikan akan menimbulkan gejala fisik yang disebut gejala putus zat (withdrawal syndrome).(rt)

 

Ciri-ciri Pengguna NAPZA

Secara medis dan hukum, penyalahguna NAPZA harus melewati satu atau serangkaian tes darah orang yang diduga menyalahgunakannya. Tetapi, sebagai orang tua dan guru, penyalahguna NAPZA dapat dikenali dari beberapa ciri fisik, psikologis maupun perilakunya. Beberapa ciri tersebut adalah sebagai berikut.

a.       Fisik

  • Berat badan turun drastis.
  • Mata cekung dan merah, muka pucat dan bibir kehitaman.
  • Buang air besar dan air kecil kurang lancar.
  • Sembelit atau sakit perut tanpa alasan yang jelas.
  • Tanda berbintik merah seperti bekas gigitan nyamuk dan ada bekas luka sayatan.
  • Terdapat perubahan warna kulit di tempat bekas suntikan.
  • Sering batuk-pilek berkepanjangan.
  • Mengeluarkan air mata yang berlebihan.
  • Mengeluarkan keringat yang berlebihan.
  • Kepala sering nyeri, persendian ngilu.

b.       Emosi

  • Sangat sensitif dan cepat bosan.
  • Jika ditegur atau dimarahi malah membangkang.
  • Mudah curiga dan cemas
  • Emosinya naik turun dan tidak ragu untuk memukul atau berbicara kasar kepada orang  disekitarnya, termasuk kepada anggota keluarganya. Ada juga yang berusaha menyakiti diri sendiri..

c.    Perilaku

  • Malas dan sering melupakan tanggung jawab/tugas rutinnya.
  • Menunjukkan sikap tidak peduli dan jauh dari keluarga.
  • Di rumah waktunya dihabiskan untuk menyendiri di kamar, toilet, gudang, kamar mandi, ruang-ruang yang gelap.
  • Nafsu makan tidak menentu.
  • Takut air, jarang mandi.
  • Sering menguap.
  • Sikapnya cenderung jadi manipulatif dan tiba-tiba bersikap manis jika ada maunya, misalnya untuk membeli obat.
  • Sering bertemu dengan orang-orang yang tidak dikenal keluarga, pergi tanpa pamit dan pulang lewat tengah malam.
  • Selalu kehabisan uang, barang-barang pribadinya pun hilang dijual.
  • Suka berbohong dan gampang ingkar janji.
  • Sering mencuri baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun pekerjaan.

Di samping itu, kondisi fisik penyalahguna NAPZA akan sangat mudah dikenali dalam keadaan putus obat, terutama narkotika (seperti ganja, putau dan sejenisnya), yaitu dengan ciri-ciri:

  • air mata berlebihan
  • banyaknya lendir dari hidung
  • pupil mata membesar
  • diare
  • bulu kuduk berdiri
  • sukar tidur
  • menguap
  • jantung berdebar-debar
  • ngilu pada sendi

Penting untuk diperhatikan, semua ciri-ciri di atas adalah indikator dari penyalahgunaan NAPZA, tapi BUKAN ciri yang dapat menentukan apakah seseorang sudah menyalahgunakan NAPZA. Artinya, perlu kehati-hatian dan kebijaksanaan untuk menggunakan ciri-ciri itu untuk menuduh seseorang terlibat penyalahgunaan NAPZA. Ciri-ciri ini digunakan terutama untuk meningkatkan kewaspadaan serta perhatian orang tua dan guru, untuk kemudian menindaklanjutinya dengan pemeriksaan darah pada lembaga yang berwenang bila seseorang dicurigai (rt)

Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA

Pada setiap kasus, ada penyebab yang khas mengapa seseorang menyalahgunakan NAPZA dan ketergantungan. Artinya, mengapa seseorang akhirnya terjebak dalam perilaku ini merupakan sesuatu yang unik dan tidak dapat disamakan begitu saja dengan kasus lainnya. Namun berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa faktor yang berperan pada penyalahgunaan NAPZA.

Faktor keluarga

Dalam percakapan sehari-hari, keluarga paling sering menjadi “tertuduh” timbulnya penyalahgunaan NAPZA pada anaknya. Tuduhan ini tampaknya bukan tidak beralasan, karena hasil penelitian dan pengalaman para konselor di lapangan menunjukkan peranan penting dari keluarga dalam kasus-kasus penyalahgunaan NAPZA. Berdasarkan hasil penelitian tim UNIKA Atma Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta tahun 1995, terdapat beberapa tipe keluarga yang beresiko tinggi anggota keluarganya (terutama anaknya yang remaja) terlibat penyalahgunaan NAPZA.

  • Keluarga yang memiliki sejarah (termasuk orang tua) mengalami ketergantungan NAPZA.
  • Keluarga dengan menejemen keluarga yang kacau, yang terlihat dari pelaksanaan aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu (misalnya, ayah bilang ya, ibu bilang tidak).
  • Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya penyelesaian yang memuaskan semua pihak yang berkonflik. Konflik dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun antar saudara.
  • Keluarga dengan orang tua yang otoriter. Di sini peran orang tua sangat dominan, dengan anak yang hanya sekedar harus menuruti apa kata orang tua – dengan alasan sopan santun, adat istiadat, atau demi kemajuan dan masa depan anak itu sendiri – tanpa diberi kesempatan untuk berdialog dan menyatakan ketidaksetujuannya.
  • Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut anggotanya mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai dalam banyak hal.
  • Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan dengan alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, dan sering berlebihan dalam menanggapi sesuatu.

Faktor kepribadian

Kepribadian penyalahguna NAPZA juga turut berperan dalam perilaku ini. Pada remaja, biasanya penyalahguna NAPZA memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif agresif dan cenderung depresi, juga turut mempengaruhi.

Selain itu, kemampuan remaja untuk memecahkan masalahnya secara adekuat berpengaruh terhadap bagaimana ia mudah mencari pemecahan masalah dengan melarikan diri. Hal ini juga berkaitan dengan mudahnya ia menyalahkan lingkungan dan lebih melihat faktor-faktor di luar dirinya yang menentukan segala sesuatu. Dalam hal ini, kepribadian yang dependen dan tidak mandiri memainkan peranan penting dalam memandang NAPZA sebagai satu-satunya pemecahan masalah yang dihadapi.

Sangat wajar bila dalam usianya remaja membutuhkan pengakuan dari lingkungan sebagai bagian pencarian identitas dirinya. Namun bila ia memiliki kepribadian yang tidak mandiri dan menganggap segala sesuatunya harus diperoleh dari lingkungan, akan sangat memudahkan kelompok teman sebaya untuk mempengaruhinya menyalahgunakan NAPZA. Di sinilah sebenarnya peran keluarga dalam meningkatkan harga diri dan kemandirian pada anak remajanya.

Faktor kelompok teman sebaya (peer group)

Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, yaitu cara teman-teman atau orang-orang seumur untuk mempengaruhi seseorang agar berperilaku seperti kelompok itu. Tekanan kelompok dialami oleh semua orang bukan hanya remaja, karena pada kenyataannya semua orang ingin disukai dan tidak ada yang mau dikucilkan.

Kegagalan untuk memenuhi tekanan dari kelompok teman sebaya, seperti berinteraksi dengan kelompok teman yang lebih populer, mencapai prestasi dalam bidang olah raga, sosial dan akademik, dapat menyebabkan frustrasi dan mencari kelompok lain yang dapat menerimanya. Sebaliknya, keberhasilan dari kelompok teman sebaya yang memiliki perilaku dan norma yang mendukung penyalahgunaan NAPZA dapat muncul.

Faktor kesempatan

Ketersediaan NAPZA dan kemudahan memperolehnya juga dapat dikatakan sebagai pemicu. Indonesia yang sudah mendjadi tujuan pasar narkotika internasional, menyebabkan zat-zat ini dengan mudah diperoleh. Bahkan beberapa media massa melansir bahwa para penjual narkotika menjual barang dagangannya di sekolah-sekolah, termasuk sampai di SD. Penegakan hukum yang belum sepenuhnya berhasil – tentunya dengan berbagai kendalanya – juga turut menyuburkan usaha penjualan NAPZA di Indonesia.

Akhirnya, dari beberapa faktor yang sudah diuraikan, tidak ada faktor yang satu-satu berperan dalam setiap kasus penyalahgunaan NAPZA. Ada faktor yang memberikan kesempatan, dan ada faktor pemicu. Biasanya, semua faktor itu berperan. Karena itu, penanganannya pun harus melibatkan berbagai pihak, termasuk keterlibatan aktif orang tua. (rt)

Akibat Penyalahgunaan NAPZA

Paling tidak terdapat 3 aspek akibat langsung penyalahgunaan NAPZA yang berujung pada menguatnya ketergantungan.

  • Secara fisik: penggunaan NAPZA akan mengubah metabolisme tubuh seseorang. Hal ini terlihat dari peningkatan dosis yang semakin lama semakin besar dan gejala putus obat. Keduanya menyebabkan seseorang untuk berusaha terus-menerus mengkonsumsi NAPZA.
  • Secara psikis: berkaitan dengan berubahnya beberapa fungsi mental, seperti rasa bersalah, malu dan perasaan nyaman yang timbul dari mengkonsumsi NAPZA. Cara yang kemudian ditempuh untuk beradaptasi dengan perubahan fungsi mental itu adalah dengan mengkonsumsi lagi NAPZA.
  • Secara sosial: dampak sosial yang memperkuat pemakaian NAPZA. Proses ini biasanya diawali dengan perpecahan di dalam kelompok sosial terdekat seperti keluarga (lihat faktor penyebab keluarga), sehingga muncul konflik dengan orang tua, teman-teman, pihak sekolah atau pekerjaan. Perasaan dikucilkan pihak-pihak ini kemudian menyebabkan si penyalahguna bergabung dengan kelompok orang-orang serupa, yaitu para penyalahguna NAPZA juga

Semua akibat ini berujung pada meningkatkannya perilaku penyalahgunaan NAPZA. Beberapa dampak yang sering terjadi dari peningkatan ini adalah sebagai berikut.

  • Dari kebutuhan untuk memperoleh NAPZA terus-menerus menyebabkan penyalahguna sering melakukan pelanggaran hukum seperti mencuri dan menipu orang lain untuk mendapatkan uang membeli NAPZA.
  • Menurun bahkan menghilangnya produktivitas pemakai, apakah itu di sekolah maupun di tempat kerja. Penyalahguna akan kehilangan daya untuk melakukan kegiatannya sehari-hari.
    • Penggunaan jarum suntik secara bersama meningkatkan resiko tertularnya berbagai macam penyakit seperti HIV. Peningkatan jumlah orang dengan HIV positif di Indonesia akhir-akhir ini berkaitan erat dengan meningkatnya penyalahgunaan NAPZA.
    • Pemakaian NAPZA secara berlebihan menyebabkan kematian. Gejala over dosis pada penyalahguna NAPZA menjadi lebih besar karena batas toleransi seseorang sering tidak disadari oleh yang bersangkutan.

Dilihat secara lebih luas lagi, terutama dari segi kepentingan bangsa Indonesia, penyalahgunaan NAPZA pada remaja jelas-jelas membawa dampak yang sangat negatif. (rt)

Sumber : e-psikologi.com

Sejarah Narkoba (klik linknya)

http://www.ziddu.com/download/14192846/SEJARAHNARKOBADIINDONESIA.docx.html

Kesehatan Jiwa


Artikel:                      Kesehatan Jiwa–Apakah Kita Peduli?

Tanggal:                   21 Mei 2001

No.:                           27.1

Penulis/Sumber:       Chris W. Green

http://www1.rad.net.id/aids/Naza/BERITA/BN02701.htm

Bagaimana kita dapat menulis mengenai kesehatan jiwa terkait AIDS dan narkoba tanpa menambah stigma dan perlakuan tidak adil yang sudah menyelubungi semua topik ini? Hanya kesehatan jiwa saja yang dikelilingi ‘mitos, kerahasiaan dan malu’. Ini menurut Dr. Gro Harlem Brundtland, Dirjen WHO. Hal ini hanya dapat diperburuk oleh stigma tambahan apa pun. Namun, kita tidak dapat sekadar mengabaikan kaitan antara AIDS, narkoba dan kesehatan jiwa.

Banyak di antara mereka yang kecanduan narkoba mempunyai apa yang disebut ‘diagnosis ganda’–mereka bersamaan menderita suatu bentuk penyakit jiwa. Penyakit jiwa itu mungkin penyebab mereka mulai memakai narkoba, atau mungkin itu diakibatkan penggunaan zat yang mengubah otaknya setelah tahunan memakai narkoba.

Tambahan pula, tidak luar biasa bila pengguna narkoba di Indonesia menderita masalah jiwa yang bersifat sementara atau bahkan permanen akibat ‘rehabilitasi’ yang buruk oleh lembaga yang tidak mampu, yang menjejali pengguna narkoba terlalu banyak obat atau menempatkannya di bawah stres mental yang terlalu berat.

Dan mungkin tidak mengejutkan bahwa mereka yang terinfeksi HIV, virus penyebab AIDS, sering menderita depresi. Ini sebagian dikarenakan mereka tahu bahwa mereka mempunyai penyakit terminal, tetapi juga sering diakibatkan perlakuan yang tidak adil dialami oleh banyak Odha, bahkan dalam keluarganya sendiri.

Jelas bahwa HIV mampu masuk dan menginfeksi otak. Oleh karena itu, 30-60% Odha menderita suatu bentuk demensia (keruntuhan mental) atau penyakit jiwa lain, umumnya pada tahap lanjutan penyakitnya. Ironisnya, ini tampaknya lebih sering mempengaruhi kaum muda dengan AIDS daripada orang dewasa.

Tambahan, ada semakin banyak pengguna narkoba dengan AIDS. Di mana pun di dunia, mereka menghadapi stigma ganda, dan sering ditolak layanan perawatan kesehatan yang konvensional. Ironisnya, seringkali lembaga kesehatan jiwalah yang lebih sanggup merawat orang itu, tetapi ini sering hanya meningkatkan stigma yang ditempelkan pada mereka.

Jelas, penyakit jiwa, dari yang ringan hingga yang parah, tidak jarang–kendati sering tersembunyi–di antara masyarakat umum. Survei baru-baru ini oleh pemerintah melaporkan lonjakan penyakit jiwa di Jakarta sejak permulaan krisis moneter 1997. Sekali lagi, ini tidak mengejutkan, dengan banyaknya pengangguran yang akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk menghidupi dirinya, apalagi keluarganya.

‘Hindari pengucilan’

WHO memperkirakan 400 juta orang di seluruh dunia menderita suatu bentuk penyakit jiwa atau masalah psikososial seperti yang terkait dengan penyalahgunaan alkohol atau narkoba. Kita hanya dapat menduga jumlah penderita di Indonesia, tetapi angkanya pasti besar. Namun lebih dari 30 rumah sakit jiwa utama di seluruh Indonesia tampaknya jarang penuh, walaupun, seperti rumah sakit lain, mereka wajib menawarkan sebagian tempatnya pada yang miskin.

Mengapa begini? Seperti disebut WHO, banyak orang dengan penyakit jiwa menderita secara diam; banyak menderita sendirian. Keluarga malu mengakui bahwa salah satu anggota keluarganya mungkin mengalami penyakit jiwa. Mengunjungi psikiater, apa lagi rumah sakit jiwa, dapat dirasakan sebagai pengakuan kegilaan.

Namun kita dapat mengobati banyak dari penyakit-peyakit ini. Sering kali pengobatan dapat mengurangi atau mengendalikan masalah. Penyakit jiwa terkait AIDS, seperti infeksi oportunistik lain yang memanfaatkan melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat HIV, sering dapat diobati atau dicegah.

Dan betapa lebih baik jika kita menghadapi masalah jiwa pecandu sebelum mereka mulai memakai narkoba, sering sebagai sejenis upaya mengobati diri sendiri.

Jadi sangat pantas WHO memutuskan mencurahkan Hari Kesehatan Sedunia tahun ini pada kesehatan jiwa–dengan pesan keprihatinan dan harapan.

Seperti dikatakan Joyce Djaelani Gordon, psikolog dan ketua Yayasan Kita, pusat pemulihan pecandu narkoba di Bogor, “Ini secara tak langsung mengajak kita meninjau kebutuhan yang ada di Indonesia. Berkaitan dengan narkoba, apakah yang kita butuhkan? Dapatkah kita mengurangi kesenjangan yang ada dalam menangani masalah kesehatan mental terkait narkoba? Apakah kebijakan dan pelayanan yang perlu kita bentuk untuk mengurangi stigma serta perlakuan tidak adil yang muncul pada mereka yang mencari pelayanan narkoba?”

“Tak jarang saya melihat para pekerja kesehatan takut kepada pecandu atau bahkan, memperlakukan para pecandu sebagai orang gila!” kata Joyce. “Di sisi lain, bisakah kita mengurangi keengganan masyarakat untuk konseling karena takut kerahasiaannya tidak dijaga atau bahkan, takut dianggap sakit jiwa?”

Joyce merasa bahwa kondisi kesehatan mental keluarga dan si pengguna narkoba sendiri harus disimak, baik sebelum maupun setelah mereka mulai memakai narkoba. Cuma mengatakan ‘Pokoknya, Katakan Tidak pada Narkoba!’ yang jelas menunjukkan betapa kita mengesampingkan proses mental dan kesehatan mental manusia yang memungkinkannya menolak daya pikat narkoba!”

Seperti begitu banyak unsur kesehatan, kita tidak dapat sekadar menyerahkan kesehatan jiwa pada pemerintah atau para ahli. Komunitas harus menunjukkan keprihatinan, dan mengadvokasikan untuk perhatian dan perbaikan.

Seperti dikatakan Joyce, kesehatan jiwa bukan hanya untuk orang berpenyakit jiwa. Atau seperti disebut Dr. Brundtland, “Kita harus meliputi solusi dan kepedulian pada kesehatan jiwa dalam pencarian kita terhadap hidup yang lebih baik untuk kita semua. Kita harus menjanjikan untuk ‘Hindari pengucilan–berani peduli.'”

Sumber :

Ini terjemahan artikel di Jakarta Post, 7 April 2001, tepat pada Hari Kesehatan Sedunia.

Pralisis Nervus Fasialis dan Kaitannya Dengan Bidang Kedokteran Gigi


SKIPSI

Judul : Pralisis Nervus Fasialis dan Kaitannya Dengan Bidang Kedokteran Gigi

 

Gambaran Umum Paralisis Nervus Fasialis

Pendahuluan

Saraf fasialis atau saraf otak ketujuh merupakan saraf dengan tugas utama memparsarafi otot-otot wajah, persarafan 2/3 bagian ventral dorsum lidah dan sekresi beberapa kelenjar seperti kelenjar lakrimalis, submandibularis, sublingualis, nasalis, paranasalis dan platina. Saraf fasialis keluar dari bagian inferolateral batang otak pada sambungan pons dan medulla oblongata dan letaknya dan letaknya tepat anterior dari saraf vestibulokohlearis. Saraf ini terdiri atas saraf fasialis murni yang mengandung inti motorik dan saraf intermedius yang mengandung inti sensorik dan parasimpatik.

 

Untuk lengkapnya klik di….

http://www.ziddu.com/download/13157239/rvusFasialisdanKaitannyaDenganBidangKedokteranGigi.pdf.html