Askep maternitas


Klik Link Askepnya Untuk mendownloadnya dijamin gratis / free…..

  1. Askep Abortus
  2. Askep Ca Ovarium
  3. Askep Bartolinitis
  4. Askep Bayi Baru Lahir
  5. Askep Ca Serviks
  6. Askep Ibu Hamildengan Penyakit Jantung Hipertensi
  7. Askep Hiperemisis Gravidarum
  8. Askep Ibu Hamil dengan Hypertiroid
  9. Askep Endometriosis
  10. Askep Hipertensi Kehamilan
  11. Askep Ibu Hamil dgn DM
  12. Askep Myoma Uteri
  13. Askep Perdarahan Ante PartumAskep Post Partum Resiko Tinggi
  14. Askep Kanker Payudara
  15. Askep Infeksi Nifas
  16. Askep Infertilitas
  17. Askep Molahidatidosa
  18. Askep Ibu hamil dgn letak sungsang
  19. Askep Post Partum Resiko Tinggi
  20. Askep Keluarga Berencana
  21. Atonia UteriAskep Toksemia Gravidarum
  22. Askep SC dgn indikasi panggul sempit
  23. Askep Prolaps Uteri
  24. Askep Pre dan Post Matur Kehamilan
  25. Askep Toksemia Gravidarum
  26. LP Plasenta Previda
  27. LP Distosia
  28. LP Kehamilan Ektopik Terganggu

Konsep Dasar Hemodialisa


KONSEP DASAR HEMODIALISA

 

A. Pengertian

Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan fungsi tersebut.

Pada dialisis, molekul solut berdifusi lewat membran semipermeabel dengan cara mengalir dari sisi cairan yang lebih pekat (konsentrasi solut lebih tinggi) ke cairan yang lebih encer (konsentrasi solut lebih rendah). Cairan mengalir lewat membran semipermeabel dengan cara osmosis atau ultrafiltrasi (aplikasi tekakan eksternal pada membran).

Membran semipermeabel adalah lembar tipis, berpori-pori terbuat dari selulosa atau bahan sintetik. Ukuran pori-pori membran memungkinkan difusi zat dengan berat molekul rendah seperti urea, kreatinin, dan asam urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan bergerak bebas melalui membran, tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri, dan sel-sel darah terlalu besar untuk melewati pori-pori membran. Perbedaan konsentrasi zat pada dua kompartemen disebut gradien konsentrasi.

Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen.

Sehelai membran sintetik yang semipermeabel menggantikan glomerolus serta tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya.

Sistem ginjal buatan:

1.      Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam urat.

2.      Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara darah dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dalam arus darah dan tekanan negatif (penghisap) dalam kompartemen dialisat (proses ultrafiltrasi).

3.      Mempertahankan dan mengembalikan system buffer tubuh.

4.      Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.

 

Tujuan hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebih. Pada hemodilisa, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiter tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien.

 

 

 

 

 

 

 

B. Indikasi

  1. Penyakit dalam (Medikal)

–          ARF- pre renal/renal/post renal, apabila pengobatan konvensional gagal mempertahankan RFT normal.

–          CRF, ketika pengobatan konvensional tidak cukup

–          Snake bite

–          Keracunan

–          Malaria falciparum fulminant

–          Leptospirosis

  1. Ginekologi

–          APH

–          PPH

–          Septic abortion

  1. Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan hemodialisa

–          Peningkatan BUN > 20-30 mg%/hari

–          Serum kreatinin > 2 mg%/hari

–          Hiperkalemia

–          Overload cairan yang parah

–          Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis

 

Pada CRF:

  1. BUN > 200 mg%
  2. Creatinin > 8 mg%
  3. Hiperkalemia
  4. Asidosis metabolik yang parah
  5. Uremic encepalopati
  6. Overload cairan
  7. Hb: < 8 gr% – 9 gr% siap-siap tranfusi

 

C.    PERALATAN

1.      Dialiser atau Ginjal Buatan

Komponen ini terdiri dari membran dialiser yang memisahkan kompartemen darah dan dialisat. Dialiser bervariasi dalam ukuran, struktur fisik dan tipe membran yang digunakan untuk membentuk kompartemen darah. Semua factor ini menentukan potensi efisiensi dialiser, yang mengacu pada kemampuannya untuk membuang air (ultrafiltrasi) dan produk-produk sisa (klirens).

2.      Dialisat atau Cairan dialysis

Dialisat atau “bath” adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama dari serum normal. Dialisat ini dibuat dalam system bersih dengan air keran dan bahan kimia disaring. Bukan merupakan system yang steril, karena bakteri terlalu besar untuk melewati membran dan potensial terjadinya infeksi pada pasien minimal. Karena bakteri dari produk sampingan dapat menyebabkan reaksi pirogenik, khususnya pada membran permeable yang besar, air untuk dialisat harus aman secara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya disediakan oleh pabrik komersial. Bath standar umumnya digunakan pada unit kronis, namun dapat dibuat variasinya untuk memenuhi kebutuhan pasien tertentu.

3.      Sistem Pemberian Dialisat

Unit pemberian tunggal memberikan dialisat untuk satu pasien: system pemberian multiple dapat memasok sedikitnya untuk 20 unit pasien. Pada kedua system, suatu alat pembagian proporsi otomatis dan alat pengukur serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat-air.

4.      Asesori Peralatan

Piranti keras yang digunakan pada kebanyakan system dialysis meliputi pompa darah, pompa infus untuk pemberian heparin, alat monitor untuk pendeteksi suhu tubuh bila terjadi ketidakamanan, konsentrasi dialisat, perubahan tekanan, udaara, dan kebocoran darah.

5.      Komponen manusia

6.      Pengkajian dan penatalaksanaan

 

D.    PROSEDUR HEMODIALISA

Setelah pengkajian pradialisis, mengembangkan tujuan dan memeriksa keamanan peralatan, perawat sudah siap untuk memulai hemodialisis. Akses ke system sirkulasi dicapai melalui salah satu dari beberapa pilihan: fistula atau tandur arteriovenosa (AV) atau kateter hemodialisis dua lumen. Dua jarum berlubang besar (diameter 15 atau 16) dibutuhkan untuk mengkanulasi fistula atau tandur AV. Kateter dua lumen yang dipasang baik pada vena subklavikula, jugularis interna, atau femoralis, harus dibuka dalam kondisi aseptic sesuai dengan kebijakan institusi.

 

 

 

 

 

 

Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh pompa darah. Bagian dari sirkuit disposibel sebelum dialiser diperuntukkan sebagai aliran “arterial”, keduanya untuk membedakan darah yang masuk ke dalamnya sebagai darah yang belum mencapai dialiser dan dalam acuan untuk meletakkan jarum: jarum “arterial” diletakkan paling dekat dengan anastomosis AV pada vistula atau tandur untuk memaksimalkan aliran darah. Kantong cairan normal salin yang di klep selalu disambungkan ke sirkuit tepat sebelum pompa darah. Pada kejadian hipotensi, darah yang  mengalir dari pasien dapat diklem sementara cairan normal salin yang diklem dibuka dan memungkinkan dengan cepat menginfus  untuk memperbaiki tekanan darah. Tranfusi darah dan plasma ekspander juga dapat disambungkan ke sirkuit  pada keadaan ini dan dibiarkan untuk menetes, dibantu dengan pompa darah. Infus heparin dapat diletakkan baik sebelum atau sesudah pompa darah, tergantung peralatan yang digunakan.

Dialiser adalah komponen penting selanjutnya dari sirkuit. Darah mengalir ke dalam kompartemen darah dari dialiser, tempat terjadinya pertukaran cairan dan zat sisa. Darah yang meninggalkan dialiser melewati detector udara dan foam yang mengklem dan menghentikan pompa darah bila terdeteksi adanya udara. Pada kondisi seperti ini, setiap obat-obat yang akan diberikan pada dialysis diberikan melalui port obat-obatan. Penting untuk diingat, bagaimanapun bahwa kebanyakan obat-obatan ditunda pemberiannya sampai dialysis selesai kecuali memang diperintahkan.

Darah yang telah melewati dialysis kembali ke pasien melalui “venosa” atau selang postdialiser. Setelah waktu tindakan yang diresepkan, dialysis diakhiri dengan mengklem darah dari pasien, membuka selang aliran normal salin, dan membilas sirkuit untuk mengembalikan darah pasien. Selang dan dialiser dibuang kedalam perangkat akut, meskipun program dialisis kronik sering membeli peralatan untuk membersihkan dan menggunakan ulang dialiser.

Tindakan kewaspadaan umum harus diikuti dengan teliti sepanjang tindakan dialysis karena pemajanan terhadap darah. Masker pelindung wajah dan sarung tangan wajib untuk digunakan oleh perawat yang melakukan hemodialisis.

 

E. Pedoman Pelaksanaan Hemodialisa

1.      Perawatan sebelum hemodialisa

Ø  Sambungkan selang air dengan mesin hemodialisa

Ø  Kran air dibuka

Ø  Pastikan selang pembuang air dan mesin hemodialisis sudah masuk kelubang atau saluran pembuangan

Ø  Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak

Ø  Hidupkan mesin

Ø  Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit

Ø  Matikan mesin hemodialisis

Ø  Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat

Ø  Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin hemodialisis

Ø  Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap)

 

2.      Menyiapkan sirkulasi darah

Ø  Bukalah alat-alat dialysis dari set nya

Ø  Tempatkan dializer pada tempatnya dan posisi “inset” (tanda merah) diatas dan posisi “outset” (tanda biru) di bawah.

Ø  Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung “inset”dari dializer.

Ø  Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung “out set” dari dializer dan tempatkan buble tap di holder dengan posisi tengah..

Ø  Set infus ke botol NaCl 0,9% – 500 cc

Ø  Hubungkan set infus ke slang arteri

Ø  Bukalah klem NaCl 0,9%, isi slang arteri sampai ke ujung slang lalu diklem.

Ø  Memutarkan letak dializer dengan posisi  “inset” di bawah dan “out set” di atas, tujuannya agar dializer bebas dari udara.

Ø  Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin

Ø  Buka klem dari infus set ABL, VBL

Ø  Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/menit, kemudian naikkan secara bertahap sampai dengan 200 ml/menit.

Ø  Isi bable-trap dengan NaCl 0,9% sampai ¾ cairan

Ø  Berikan tekanan secara intermiten pada VBL untuk mengalirkan udara dari dalam dializer, dilakukan sampai dengan dializer bebas udara (tekanan lebih dari 200 mmHg).

Ø  Lakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak 500 cc yang terdapat pada botol (kalf) sisanya ditampung pada gelas ukur.

Ø  Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru

Ø  Sambungkan ujung biru VBL dengan ujung merah ABL dengan menggunakan konektor.

Ø  Hidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dializer baru 15-20 menit untuk dializer reuse dengan aliran 200-250 ml/menit.

Ø  Kembalikan posisi dializer ke posisi semula di mana “inlet” di atas dan “outlet” di bawah.

Ø  Hubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-10 menit, siap untuk dihubungkan dengan pasien )soaking.

 

3.      Persiapan pasien

Ø  Menimbang berat badan

Ø  Mengatur posisi pasien

Ø  Observasi keadaan umum

Ø  Observasi tanda-tanda vital

Ø  Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi, biasanya mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses seperti di bawah ini:

–          Dengan interval A-V shunt / fistula simino

–          Dengan external A-V shunt / schungula

–          Tanpa 1 – 2 (vena pulmonalis)

 

F. Intrepretasi Hasil

Hasil dari tindakan dialysis harus diintrepretasikan dengan mengkaji jumlah cairan yang dibuang dan koreksi gangguan elektrolit dan asam basa. Darah yang diambil segera setelah dialysis dapat menunjukkan kadar elektrolit, nitrogen urea, dan kreatinin rendah palsu. Proses penyeimbangan berlangsung terus menerus setelah dialysis, sejalan perpindahan zat dari dalam sel ke plasma.

 

G. Komplikasi

1.      Ketidakseimbangan cairan

a.       Hipervolemia

b.      Ultrafiltrasi

c.       Rangkaian Ultrafiltrasi (Diafiltrasi)

d.      Hipovolemia

e.       Hipotensi

f.       Hipertensi

g.      Sindrom disequilibrium dialysis

2.      Ketidakseimbangan Elektrolit

a.       Natrium serum

b.      Kalium

c.       Bikarbonat

d.      Kalsium

e.       Fosfor

f.       Magnesium

3.      Infeksi

4.      Perdarahan dan Heparinisasi

5.      Troubleshooting

a.       Masalah-masalah peralatan

b.      Aliran dialisat

c.       Konsentrat Dialisat

d.      Suhu

e.       Aliran Darah

f.       Kebocoran Darah

g.      Emboli Udara

 

6.      Akses ke sirkulasi

a.       Fistula Arteriovenosa

b.      Ototandur

c.       Tandur Sintetik

d.      Kateter Vena Sentral Berlumen Ganda

 

H. Proses Keperawatan

1.      Pengkajian

Pengkajian Pre HD

  • Riwayat penyakit, tahap penyakit
  • Usia
  • Keseimbangan cairan, elektrolit
  • Nilai laboratorium: Hb, ureum, creatinin, PH
  • Keluhan subyektif: sesak nafas, pusing, palpitasi
  • Respon terhadap dialysis sebelumnya.
  • Status emosional
  • Pemeriksaan fisik: BB, suara nafas, edema, TTV, JVP
  • Sirkuit pembuluh darah.

Pengkajian Post HD

  • Tekanan darah: hipotensi
  • Keluhan: pusing, palpitasi
  • Komplikasi HD: kejang, mual, muntah, dsb

 

I. Diagnosa Keperawatan yang muncul pada klien yang menjalani hemodialisa

Pre HD

1.      Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang familier dengan sumber informasi.

2.   Cemas b.d krisis situasional

Intra HD

1.    Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelemahan proses pengaturan

2.    Ketidakberdayaan berhubungan dengan perasaan kurang kontrol, ketergantungan pada dialysis, sifat kronis penyakit

3.    Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive

Post HD

1.    Resiko cedera berhubungan dengan akses vaskuler dan komplikasi sekunder terhadap penusukan

2.    Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan dirumah

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Barbara, CL., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses keperawatan), Bandung.

Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli, Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.

Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, alih bahasa: Tim PSIK UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta

Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan Keperawatan untuk perencanaan dan pendukomentasian  perawatan  Pasien, Edisi-3, Alih bahasa; Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta

Puji Rahardjo, 2001, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,  Jilit II, Edisi III, BP FKUI Jakarta.

Hudak, Gallo, 1996, Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Volume II, Jakarta, EGC.

http://www.med.umich.edu/1libr/aha/aha_hemodial_art.htm

 

 

 

Mekanisme Persalinan Normal


MEKANISME PERSALINAN NORMAL

Paramitha Harsary

  • 96 % janin dalam uterus berada dalam presentasi kepala dengan ubun-ubun kecil kiri depan sebanyak 58 %, kanan depan 23 %, kanan belakang 11 % dan kiri belakang 8 %.
  • Janin dengan presentasi kepala disebabkan karena kepala relatif lebih besar dan lebih berat serta bentuk uterus sedemikian rupa sehingga volume bokong dan ekstremitas yang lebih besar berada di atas di ruang yang lebih luas sedangkan kepala berada dibawah di ruang yang lebih sempit.
  • 3 faktor yang memegang peranan penting pada persalinan :
    1. Kekuatan ibu, seperti kekuatan his dan mengedan
    2. Keadaan jalan lahir
    3. janin.
  • His à kekuatan yang menyebabkan servik membuka dan mendorong janin ke bawah serta masuk kedalam rongga panggul.
  • Kepala masuk melintasi pintu atas panggul dalam sinklitismus à arah sumbu kepala janin tegak lurus dengan bidang pintu atas panggul. Dapat juga terjadi keadaan :
    1. Asinklitismus anterior à arah sumbu kepala membuat sudut lancip ke depan dengan pintu atas panggul
    2. Asinklitismus posterior à arah sumbu kepala membuat sudut lancip ke belakang dengan pintu atas panggul.
  • Fleksi

Kepala memasuki ruang panggul dengan ukuran paling kecil ( diameter suboksipitobregmatika = 9,5 cm) dan didasar panggul kepala berada dalam fleksi maksimal.

  • Putar paksi dalam

Kepala yang turun menemui diafragma pelvis yang berjalan dari belakang atas ke bawah depan. Kombinasi elastisitas diafragma pelvis dan tekanan intra uterin oleh his yang berulang-ulang Þ kepala mengadakan rotasi Þ ubun-ubun kecil berputar kearah depan dibawah simpisis.

  • Defleksi

Setelah kepala berada di dasar panggul dengan ubun-ubun kecil di bawah simpisis ( sebagai hipomoklion), kepala mengadakan fleksi Þ berturut turut lahir bregma, dahi, muka dan akhirnya dagu.

  • Putaran paksi luar

Gerakan kembali sebelum putaran paksi dalam terjadi, untuk menyesuaikan kedudukan kepala dengan punggung anak

  • Ekspulsi

Bahu melintasi pintu atas panggul dalam keadaan miring Þ menyesuaikan dengan bentuk panggul, sehingga di dasar panggul, apabila kepala telah lahir, bahu berada dalam posisi depan-belakang Þ bahu depan lahir lebih dahulu, baru kemudian bahu belakang.

Mekanisme persalinan fisiologis penting dipahami, bila ada penyimpangan –> koreksi manual dapat dilakukan sehingga tindakan operatif tidak perlu dilakukan.

Tindakan – tindakan setelah bayi lahir :

  • Segera bersihkan jalan nafas.
  • Tali pusat dijepit pada 2 tempat, pada jarak 5 dan 10 cm, digunting dan kemudian diikat.
  • Tindakan resusitasi –> membersihkan dan menghisap jalan nafas serta cairan lambung untuk mencegah aspirasi.

Bila bayi telah lahir, uterus akan mengecil. Partus berada dalam kala III ( kala uri), yang tidak kalah penting dari kala I dan II oleh karena tingginya kematian ibu akibat perdarahan pada kala uri.

Mengecilnya uterus akibat his setelah bayi lahir mengakibatkan terjadi pelepasan perlengketan plasenta dengan dinding uterus. Ada 3 cara lepasnya plasenta yaitu :

1.     Tengah (sentral menurut Schultze) à terbanyak

2.     Pinggir (marginal menurut Mathew-Duncan)

3.     Kombinasi 1 dan 2.

Kala III berlangsung selama 6 sampai 15 menit, dengan tinggi fundus uteri setelah kala III kira-kira 2 jari di bawah pusat.

Sumber Dari :

http://ksuheimi.blogspot.com/2008/06/mekanisme-persalinan-normal.html

Distosia


DISTOSIA

Definisi
Distosia adalah kelambatan atau kesulitan dalam jalannya persalinan.

Etiologi

Distosia dapat disebabkan karena kelainan his ( his hipotonik dan his hipertonik ), karena kelainan besar anak, bentuk anak ( hidrocefalus, kembar siam, prolaps tali pusat ), letak anak (letak sungsang, letak melintang ), serta karena kelainan jalan lahir.

1. DISTOSIA KARENA KELAINAN HIS

Kelainan his dapat berupa inersia uteri hipotonik atau inersia uteri hipertonik.

a. Inersia uteri hipotonik

Adalah kelainan his dengan kekuatan yang lemah / tidak adekuat untuk melakukan pembukaan serviks atau mendorong anak keluar. Di sini kekuatan his lemah dan frekuensinya jarang. Sering dijumpai pada penderita dengan keadaan umum kurang baik seperti anemia, uterus yang terlalu teregang misalnya akibat hidramnion atau kehamilan kembar atau makrosomia, grandemultipara atau primipara, serta pada penderita dengan keadaan emosi kurang baik.

Dapat terjadi pada kala pembukaan serviks, fase laten atau fase aktif, maupun pada kala pengeluaran.
Inertia uteri hipotonik terbagi dua, yaitu :

  1. Inersia uteri primer

Terjadi pada permulaan fase laten. Sejak awal telah terjadi his yang tidak adekuat ( kelemahan his yang timbul sejak dari permulaan persalinan ), sehingga sering sulit untuk memastikan apakah penderita telah memasuki keadaan inpartu atau belum.

  1. Inersia uteri sekunder

Terjadi pada fase aktif kala I atau kala II. Permulaan his baik, kemudian pada keadaan selanjutnya terdapat gangguan / kelainan.

Penanganan :

  1. Keadaan umum penderita harus diperbaiki. Gizi selama kehamilan harus
    diperhatikan.
  2. Penderita dipersiapkan menghadapi persalinan, dan dijelaskan tentang
    kemungkinan-kemungkinan yang ada.
  3. Teliti keadaan serviks, presentasi dan posisi, penurunan kepala / bokong
    bila sudah masuk PAP pasien disuruh jalan, bila his timbul adekuat
    dapat dilakukan persalinan spontan, tetapi bila tidak berhasil maka akan
    dilakukan sectio cesaria.

b. Inersia uteri hipertonik

Adalah kelainan his dengan kekuatan cukup besar (kadang sampai melebihi
normal) namun tidak ada koordinasi kontraksi dari bagian atas, tengah dan bawah uterus, sehingga tidak efisien untuk membuka serviks dan mendorong bayi keluar.
Disebut juga sebagai incoordinate uterine action. Contoh misalnya “tetania uteri” karena obat uterotonika yang berlebihan.

Pasien merasa kesakitan karena his yang kuat dan berlangsung hampir terus-menerus. Pada janin dapat terjadi hipoksia janin karena gangguan sirkulasi uteroplasenter.
Faktor yang dapat menyebabkan kelainan ini antara lain adalah rangsangan pada uterus, misalnya pemberian oksitosin yang berlebihan, ketuban pecah lama dengan disertai infeksi, dan sebagainya.

Penanganan
Dilakukan pengobatan simtomatis untuk mengurangi tonus otot, nyeri, mengurangi ketakutan. Denyut jantung janin harus terus dievaluasi. Bila dengan cara tersebut tidak berhasil, persalinan harus diakhiri dengan sectio cesarea.

2. DISTOSIA KARENA KELAINAN LETAK

a)      Letak Sungsang

Letak sungsang adalah janin terletak memanjang dengan kepala di fundus
uteri dan bokong dibawah bagian cavum uteri.

Macam –Macam Letak Sungsang :

  1. Letak bokong murni ( frank breech )
    Letak bokong dengan kedua tungkai terangkat ke atas.
  2. Letak sungsang sempurna (complete breech)
    Kedua kaki ada disamping bokong dan letak bokong kaki sempurna.
  3. Letak sungsang tidak sempurna ( incomplete breech )
    Selain bokong sebagian yang terendah adalah kaki atau lutut.

Etiologi Letak Sungsang :

  1. Fiksasi kepala pada PAP tidak baik atau tidak ada ; pada panggul sempit, hidrocefalus, anencefalus, placenta previa, tumor.
  2. Janin mudah bergerak ; pada hidramnion, multipara, janin kecil (prematur).
  3. Gemelli
  4. Kelainan uterus ; mioma uteri
  5. Janin sudah lama mati
  6. Sebab yang tidak diketahui.

Diagnosis Letak Sungsang :

  1. Pemeriksaan luar, janin letak memanjang, kepala di daerah fundus uteri
  2. Pemeriksaan dalam, teraba bokong saja, atau bokong dengan satu atau dua kaki.

Syarat Partus Pervagina Pada Letak Sungsang :

  1. Janin tidak terlalu besar
  2. Tidak ada suspek CPD
  3. Tidak ada kelainan jalan lahir

Jika berat janin 3500 g atau lebih, terutama pada primigravida atau multipara dengan riwayat melahirkan kurang dari 3500 g, sectio cesarea lebih dianjurkan.

b)      Prolaps Tali Pusat

Yaitu tali pusat berada disamping atau melewati bagian terendah janin setelah
ketuban pecah. Bila ketuban belum pecah disebut tali pusat terdepan.

Pada keadaan prolaps tali pusat ( tali pusat menumbung ) timbul bahaya besar, tali pusat terjepit pada waktu bagian janin turun dalam panggul sehingga menyebabkan asfiksia pada janin.

Prolaps tali pusat mudah terjadi bila pada waktu ketuban pecah bagian terdepan janin masih berada di atas PAP dan tidak seluruhnya menutup seperti yang terjadi pada persalinan ; hidramnion, tidak ada keseimbangan antara besar kepala dan panggul, premature, kelainan letak.

Diagnosa prolaps tali pusat ditegakkan bila tampak tali pusat keluar dari liang senggama atau bila ada pemeriksaan dalam teraba tali pusat dalam liang senggama atau teraba tali pusat di samping bagian terendah janin.

Pencegahan Prolaps Tali Pusat :

► Menghindari pecahnya ketuban secara premature akibat tindakan kita.

Penanganan Tali Pusat Terdepan ( Ketuban belum pecah ) :
► Usahakan agar ketuban tidak pecah
► Ibu posisi trendelenberg
► Posisi miring, arah berlawanan dengan posisi tali pusat
► Reposisi tali pusat

Penanganan Prolaps Tali Pusat :
► Apabila janin masih hidup , janin abnormal, janin sangat kecil harapan hidup

Tunggu partus spontan.
► Pada presentasi kepala apabila pembukaan kecil, pembukaan lengkap
Vacum ekstraksi, porcef.
► Pada Letak lintang atau letak sungsang Sectio cesaria

  1. DISTOSIA KARENA KELAINAN JALAN LAHIR
    Distosia karena kelainan jalan lahir dapat disebabkan adanya kelainan pada jaringan keras / tulang panggul, atau kelainan pada jaringan lunak panggul.

a)      Distosia karena kelainan panggul/bagian keras
Dapat berupa :

  1. Kelainan bentuk panggul yang tidak normal gynecoid, misalnya panggul jenis
    Naegele, Rachitis, Scoliosis, Kyphosis, Robert dan lain-lain.
  2. Kelainan ukuran panggul.
    Panggul sempit (pelvic contaction). Panggul disebut sempit apabila ukurannya 1 – 2 cm kurang dari ukuran yang normal.

Kesempitan panggul bisa pada :

  1. Kesempitan pintu atas panggul
    Inlet dianggap sempit apabila cephalopelvis kurang dari 10 cm atau diameter transversa kurang dari 12 cm. Diagonalis (CD) maka inlet dianggap sempit bila CD kurang dari 11,5 cm.
  2. Kesempitan midpelvis
  • Diameter interspinarum 9 cm
  • Kalau diameter transversa ditambah dengan diameter sagitalis posterior kurang dari 13,5 cm.
  • Kesempitan midpelvis hanya dapat dipastikan dengan RO – pelvimetri.
  • Midpelvis contraction dapat member kesulitan sewaktu persalinan sesudah kepala melewati pintu atas panggul.
  1. Kesempitan outlet

Kalau diameter transversa dan diameter sagitalis posterior kurang dari 15 cm.
Kesempitan outlet, meskipun mungkin tidak menghalangi lahirnya janin,
namun dapat menyebabkan rupture perineal yang hebat. Karena arkus pubis
sempit, kepala janin terpaksa melalui ruang belakang.

Ukuran rata-rata panggul wanita normal

  1. Pintu atas panggul (pelvic inlet) :
    Diameter transversal (DT) + 13.5 cm. Conjugata vera (CV) + 12.0 cm. Jumlah rata-rata kedua diameter minimal 22.0 cm.
  2. Pintu tengah panggul (midpelvis) :
    Distansia interspinarum (DI) + 10.5 cm. Diameter anterior posterior (AP) + 11.0 cm. Jumlah rata-rata kedua diameter minimal 20.0 cm.
  3. Pintu bawah panggul (pelvic outlet) :
    Diameter anterior posterior (AP) + 7.5 cm. Distansia intertuberosum + 10.5 cm. Jumlah rata-rata kedua diameter minimal 16.0 cm.
    Bila jumlah rata-rata ukuran pintu-pintu panggul tersebut kurang, maka panggul tersebut kurang sesuai untuk proses persalinan pervaginam spontan.

b)      Kelainan jalan lahir lunak
Adalah kelainan serviks uteri, vagina, selaput dara dan keadaan lain pada jalan lahir yang menghalangi lancarnya persalinan.

1.Distosia Servisis
Adalah terhalangnya kemajuan persalinan disebabkan kelainan pada servik uteri. Walaupun harus normal dan baik, kadang – kadang permukaan servik menjadi macet karena ada kelainan yang menyebabkan servik tidak mau membuka.

Ada 4 jenis kelainan pada servik uteri :

  • Servik kaku (rigid cervix)
  • Servik gantung (hanging cervix)
  • Servik konglumer (conglumer cervix)
  • Edema servik

2.Kelainan selaput dara dan vagina

  • Selaput dara yang kaku, tebal
    Penanganannya : dilakukan eksisi selaput dara (hymen)
  • Septa vagina
    ▪ Sirkuler
    ▪ Anteris – posterior
    Penanganan :
    – Dilakukan eksisi sedapat mungkin sehingga persalinan berjalan
    Lancar
    – Kalau sulit dan terlalu lebar, dianjurkan untuk melakukan sectio
    Cesaria

3.Kelainan – kelainan lainnya
¶ Tumor – tumor jalan lahir lunak : kista vagina ; polip serviks, mioma
uteri, dan sebagainya.
¶ Kandung kemih yang penuh atau batu kandung kemih yang besar.
¶ Rectum yang penuh skibala atau tumor.
¶ Kelainan letak serviks yang dijumpai pada multipara dengan perut
gantung.
¶ Ginjal yang turun ke dalam rongga pelvis.
¶ Kelainan – kelainan bentuk uterus : uterus bikorvus, uterus septus,
uterus arkuatus dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA
Mochlar, Rustam. 1990. Synopsis Obstetric. Jakarta : EGC

FKUI Universitas Padjajaran. 1983. Uji Diri Obstetric dan ginekologi. Bandung : Eleman

FKUI Universitas Padjajaran. 1982. Obstetric Patologi. Bandung : Elstar offset

Cunningham, F. Gary. 1995. Obstetric Williams. Jakarta : EGC

Oxorn, Harry. 1990. Patologi dan Fisiologi Persalinan. Jakarta : Yayasan Essentia Medica

Wiknojosastro, Hanifa. 1992. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo

Infeksi Alat Genital


INFEKSI ALAT GENITAL

• Cavum abdomen berhubungan dengan dunia luar
• Diduga melalui hubungan tsb infeksi dapat terjadi dari vulvitis menjadi peritonitis
• Mekanisme pertahanan tubuh:
• Epithel squamous berlapis dari vulva
• Asam laktat hasil metabolisme bakteri Doderlein
• Serviks uteri mengeluarkan lendir dan dapat mengental
• Cilia tubayang mengarah cavum uteri

1. Vulvitis
Gejala : lekorea dan tanda adanya infeksi lokal
• Infeksi kulit berambut (follikulitis)
• Terjadi perubahan warna
• Bengkak
• Nyeri
• Bernanah
Therapi : antibiotika

2. Infeksi kelenjar Bartholini (Bartholinitis)
o Letak: dibagian bawah vulva
o Perubahan warna kulit
o Membengkak
o Timbunan dnanah dalam kelenjar
o Nyeri
Therapi: Marsupialisasi

3. Vaginitis
• Infeksi disebabkan bakteri, parasit atau jamur.
• Sebagian besar berhubungan dengan PMS
• Gejala:
• Lekorea
• Panas dan gatal
• Suhui meningkat
• Vagina kemerahan, mudah berdarah
• Dispareunia

4. Trikhomoniasis
Trikhomonas vaginalisàTermasuk parasit mempunyai flgella
• Lekorea kehijauan
• Gatal dan terasa terbakar
• Berbau
• Dispareunia
• Terdapat bintik pada dinding vagina
Therapi: Metronidazole

5. Kandidiasis
candida albicansàJamur
• Keputihan kental bergumpal
• Sangat gatal
dilepas dapat timbul perdarahan
àPada dinding vagina dijumpai membran putih
• Terapi: Griseofulvin, Ketokonazole

6. Servisitis
• Infeksi serviks uteri
• Gejala:
• Lekorea
• Kontak berdarah
• Pemeriksaan: serviks kemerahan
• Usia > 40 tahun waspada keganasan serviks

7. Endometririts
Radang pada kelenjar rahim
Gejala:
• Lekorea
• Nyeri pelvis bagian bawah
• Kadang perdarahan
miometritis
àPenyebaran ke otot rahim
parametritis
àOrgan sekitar rahi,
salfingitis
àSaluran tuba
Ooforoitis
àOvarium
• Absess panggul

8. Penyakit radang panggul/PID
infeksi yang meliputi uterus, tuba, ovarium
Gejala :
• Nyeri daerah pelvis
• Lekorea bercampur nanah
• Temperatur meningkat
• Nadi, pernafasan bertambah dengan Tekanan darah tetap

Pemeriksaan:
• Distensi
• Nyeri goyang serviks
• Teraba tumor karena pembentukan abses

Penyebab mikroorganisme ITG
• Kandidiasis
• Trikhomoniasis
Neisseria gonorhea
àGonorea
• Diplokokkus intraseluler
• Gram negatif
perih (rasa terbakar) saat kencing
àGejala utama: disuria
lekorea purulen, serviks gambaran merah daging
àKlamidia trakhomatis

9. Sifilis
• Penyebab : Trepanoma pallidum (spirochaeta)
stadium lanjut ruam kulit tak gatal, gangguan jantung, vaskulitis
àTanda: ulkus tak nyeri, lnn membesar

10. Infeksi yang lain

· Herpes genital(HSV)

· Ulkus mulripel, perih, dangkal

· Condiloma accumnata

· Pertumbuhan seperti bunga kol, tak nyeri sekitar anus, vulvo vagina, perineum dan uretra