Kesehatan Jiwa


Artikel:                      Kesehatan Jiwa–Apakah Kita Peduli?

Tanggal:                   21 Mei 2001

No.:                           27.1

Penulis/Sumber:       Chris W. Green

http://www1.rad.net.id/aids/Naza/BERITA/BN02701.htm

Bagaimana kita dapat menulis mengenai kesehatan jiwa terkait AIDS dan narkoba tanpa menambah stigma dan perlakuan tidak adil yang sudah menyelubungi semua topik ini? Hanya kesehatan jiwa saja yang dikelilingi ‘mitos, kerahasiaan dan malu’. Ini menurut Dr. Gro Harlem Brundtland, Dirjen WHO. Hal ini hanya dapat diperburuk oleh stigma tambahan apa pun. Namun, kita tidak dapat sekadar mengabaikan kaitan antara AIDS, narkoba dan kesehatan jiwa.

Banyak di antara mereka yang kecanduan narkoba mempunyai apa yang disebut ‘diagnosis ganda’–mereka bersamaan menderita suatu bentuk penyakit jiwa. Penyakit jiwa itu mungkin penyebab mereka mulai memakai narkoba, atau mungkin itu diakibatkan penggunaan zat yang mengubah otaknya setelah tahunan memakai narkoba.

Tambahan pula, tidak luar biasa bila pengguna narkoba di Indonesia menderita masalah jiwa yang bersifat sementara atau bahkan permanen akibat ‘rehabilitasi’ yang buruk oleh lembaga yang tidak mampu, yang menjejali pengguna narkoba terlalu banyak obat atau menempatkannya di bawah stres mental yang terlalu berat.

Dan mungkin tidak mengejutkan bahwa mereka yang terinfeksi HIV, virus penyebab AIDS, sering menderita depresi. Ini sebagian dikarenakan mereka tahu bahwa mereka mempunyai penyakit terminal, tetapi juga sering diakibatkan perlakuan yang tidak adil dialami oleh banyak Odha, bahkan dalam keluarganya sendiri.

Jelas bahwa HIV mampu masuk dan menginfeksi otak. Oleh karena itu, 30-60% Odha menderita suatu bentuk demensia (keruntuhan mental) atau penyakit jiwa lain, umumnya pada tahap lanjutan penyakitnya. Ironisnya, ini tampaknya lebih sering mempengaruhi kaum muda dengan AIDS daripada orang dewasa.

Tambahan, ada semakin banyak pengguna narkoba dengan AIDS. Di mana pun di dunia, mereka menghadapi stigma ganda, dan sering ditolak layanan perawatan kesehatan yang konvensional. Ironisnya, seringkali lembaga kesehatan jiwalah yang lebih sanggup merawat orang itu, tetapi ini sering hanya meningkatkan stigma yang ditempelkan pada mereka.

Jelas, penyakit jiwa, dari yang ringan hingga yang parah, tidak jarang–kendati sering tersembunyi–di antara masyarakat umum. Survei baru-baru ini oleh pemerintah melaporkan lonjakan penyakit jiwa di Jakarta sejak permulaan krisis moneter 1997. Sekali lagi, ini tidak mengejutkan, dengan banyaknya pengangguran yang akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk menghidupi dirinya, apalagi keluarganya.

‘Hindari pengucilan’

WHO memperkirakan 400 juta orang di seluruh dunia menderita suatu bentuk penyakit jiwa atau masalah psikososial seperti yang terkait dengan penyalahgunaan alkohol atau narkoba. Kita hanya dapat menduga jumlah penderita di Indonesia, tetapi angkanya pasti besar. Namun lebih dari 30 rumah sakit jiwa utama di seluruh Indonesia tampaknya jarang penuh, walaupun, seperti rumah sakit lain, mereka wajib menawarkan sebagian tempatnya pada yang miskin.

Mengapa begini? Seperti disebut WHO, banyak orang dengan penyakit jiwa menderita secara diam; banyak menderita sendirian. Keluarga malu mengakui bahwa salah satu anggota keluarganya mungkin mengalami penyakit jiwa. Mengunjungi psikiater, apa lagi rumah sakit jiwa, dapat dirasakan sebagai pengakuan kegilaan.

Namun kita dapat mengobati banyak dari penyakit-peyakit ini. Sering kali pengobatan dapat mengurangi atau mengendalikan masalah. Penyakit jiwa terkait AIDS, seperti infeksi oportunistik lain yang memanfaatkan melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat HIV, sering dapat diobati atau dicegah.

Dan betapa lebih baik jika kita menghadapi masalah jiwa pecandu sebelum mereka mulai memakai narkoba, sering sebagai sejenis upaya mengobati diri sendiri.

Jadi sangat pantas WHO memutuskan mencurahkan Hari Kesehatan Sedunia tahun ini pada kesehatan jiwa–dengan pesan keprihatinan dan harapan.

Seperti dikatakan Joyce Djaelani Gordon, psikolog dan ketua Yayasan Kita, pusat pemulihan pecandu narkoba di Bogor, “Ini secara tak langsung mengajak kita meninjau kebutuhan yang ada di Indonesia. Berkaitan dengan narkoba, apakah yang kita butuhkan? Dapatkah kita mengurangi kesenjangan yang ada dalam menangani masalah kesehatan mental terkait narkoba? Apakah kebijakan dan pelayanan yang perlu kita bentuk untuk mengurangi stigma serta perlakuan tidak adil yang muncul pada mereka yang mencari pelayanan narkoba?”

“Tak jarang saya melihat para pekerja kesehatan takut kepada pecandu atau bahkan, memperlakukan para pecandu sebagai orang gila!” kata Joyce. “Di sisi lain, bisakah kita mengurangi keengganan masyarakat untuk konseling karena takut kerahasiaannya tidak dijaga atau bahkan, takut dianggap sakit jiwa?”

Joyce merasa bahwa kondisi kesehatan mental keluarga dan si pengguna narkoba sendiri harus disimak, baik sebelum maupun setelah mereka mulai memakai narkoba. Cuma mengatakan ‘Pokoknya, Katakan Tidak pada Narkoba!’ yang jelas menunjukkan betapa kita mengesampingkan proses mental dan kesehatan mental manusia yang memungkinkannya menolak daya pikat narkoba!”

Seperti begitu banyak unsur kesehatan, kita tidak dapat sekadar menyerahkan kesehatan jiwa pada pemerintah atau para ahli. Komunitas harus menunjukkan keprihatinan, dan mengadvokasikan untuk perhatian dan perbaikan.

Seperti dikatakan Joyce, kesehatan jiwa bukan hanya untuk orang berpenyakit jiwa. Atau seperti disebut Dr. Brundtland, “Kita harus meliputi solusi dan kepedulian pada kesehatan jiwa dalam pencarian kita terhadap hidup yang lebih baik untuk kita semua. Kita harus menjanjikan untuk ‘Hindari pengucilan–berani peduli.'”

Sumber :

Ini terjemahan artikel di Jakarta Post, 7 April 2001, tepat pada Hari Kesehatan Sedunia.